Bagi para pengguna internet, Google pasti bukan nama yang asing. Nama ”mesin” pencari data di internet yang diprakarsai oleh Larry Page dan Sergey Brin ini merupakan mesin pencari data yang mungkin paling terkenal di dunia saat ini.
Dengan bantuan Google, saya terinspirasi untuk melihat kekayaan ”kemiskinan di NTT”. Inspirasi ini muncul setelah saya membaca sebuah email dari teman-teman Forum Academia NTT yang menyatakan, banyak tulisan tentang NTT, selalu saja dimulai dengan kata "Kemiskinan". Benarkah kita miskin? Atau hanya pura-pura jadi "miskin"?
Saya berhipotesis, NTT tidak miskin. NTT adalah daerah yang kaya. Dan tenyata hipotesis ini benar. Mau bukti?
Coba anda mengakses Goggle dan masukkan kata kunci ”kemiskinan di NTT”. Jika hasil Anda sama dengan saya, dan saat Anda membaca tulisan ini belum ada penambahan tulisan baru, maka hanya dalam waktu 0.11 detik (tergantung kecepatan internet dan komputer yang dipakai) Anda akan berhasil menemukan setidaknya 43.600 ..... diulang ”Empat puluh tiga ribu enam ratus” tulisan yang tentang kemiskinan di NTT. Karena itu, dalam tataran ini saya menganggap, ”NTT TIDAK MISKIN” --- karena dari kemiskinan ini muncul kekayaan intelektual yang sangat menakjubkan.
Lihat saja nama-nama dimunculkan google dari kata kunci ”Kemiskinan di NTT”. Begitu banyak nama intelektual NTT dan luar NTT yang menyoroti kemiskinan di NTT. Saya kemudian mencoba menyusun nama-nama para intelektual ini apa adanya berdasarkan urutan ”results” yang dimunculkan Google. Nama pertama yang muncul dari hasil pencarian saya adalah Dr. Fred Benu dari Universitas Nusa Cendana yang mengugat bahwa program pemberantasan kemiskinan masih bersifat partial dan belum menyentuh akar permasalahan sesungguhnya. Dr. Fred merujuk pada: ”tingginya jumlah penduduk miskin, rendahnya tingkat pendidikan dasar dan derajat kesehatan, rendahnya kinerja perekonomian rakyat dengan infrastruktur” (Kompas, 19 Mei 2005).
Nama berikut yang muncul adalah Kornelis Kewa Ama, seorang wartawan Koran Kompas yang membuat laporan tentang bagaimana kusutnya benang kemiskinan di NTT (Kompas, 23/2006). Dalam tulisan yang sama ini ada nama besar lain seperti Prof Dr Alo Liliweri (Undana), Vincent Repu (Unwira), dan Jamin Habib (Bappeda NTT). Opini yang mengemuka dalam laporan ini adalah kemiskinan di NTT berakar pada sifat orang NTT yang tidak suka pekerjaan kasar, terutama kalau tinggal di NTT. Tapi kalau keluar dari NTT, banyak yang sukses sebagai pekerja kasar. Ini mungkin suatu alasan mengapa banyak TKI yang berasal dari NTT. Walaupun terbukti bahwa tidak semua TKI bernasib baik. Sebut saja Nirmala Bonat sebagai contoh. Alasan lain tentang akar kemiskinan NTT adalah kesukaan bergotong royong NTT yang sangat menonjol. Sayangnya sifat gotong royong ini dalam konteks saling membantu untuk berpesta. Juga kurangnya jiwa enterprise masyarakat NTT dan PNS oreinted yang sangat kuat, pola sukuisme dan kehidupan terkotak-kotak akibat perbedaan budaya, agama, adat dan pulau-pulau.
Diskusi tentang kemiskinan tidak hanya hadir dalam konteks seminar atau laporan koran tetapi sudah banyak dibukukan. Sebut saja judul buku pertama yang disodorkan google, ”Kemiskinan dan Pembangunan di Propinsi Nusa Tenggara Timur”. Buku yang diterbitkan pada tahun 1994 oleh Penerbit Buku Obor ini memuat hasil penelitian Tim IPB tentang keprihatinan pembangunan di NTT. Buku ini memunculkan nama Sayogya sebagai penulisnya.
Kekayaan ”Kemiskinan” NTT tidak hanya memunculkan nama perorangan atau kelompok peneliti. Kemiskinan NTT juga menarik perhatian negara lain. Sebut saja nama Bill Farmer, Duta Besar Australia, adalah nama selanjutnya yang disodorkan Google. Bill Farmer hadir sebagai perwakilan keprihatinan negara lain, dalam hal ini Australia terhadap kemiskian di NTT. Australia kemudian meluncurkan program bantuan pengentasan kemiskinan di NTT dan NTB senilai AU$ 30 juta pada tanggal 9 Maret 2006 lalu. Program ini diberi nama, Australia Nusa Tenggara Assistance for Regional Autonomy (ANTARA). Progam ini akan berlangsung sampai 2010.
Dari berita NTT Online (29/11/2005), ada reportase Arin Swandari tentang ”Anak NTT, lahir lalu miskin”. Arin melaporkan, salah satu penyebab kemiskinan di NTT adalah banyaknya jumlah anak dalam keluarga. Banyak anak ternyata tidak banyak rejeki. Juga fenomena bahwa banyaknya anak yang lahir dalam keluarga karena akibat dari kemiskinan itu sendiri. Kemiskinan memicu stress dan depresi. Akibatnya seks adalah cara yang ditempuh untuk mengatasi stress. Suatu argumen yang menarik dari Romo Maxi Unbria.
Pos Kupang (18/9/2007) juga memuat opini tentang Gizi buruk di NTT oleh Gabriel Adur yang juga merujuk Laporan Indonesia Corruption Watch ( ICW), dimana, dibalik kemiskinannya, NTT adalah propinsi terkorup ke-6 di Indonesia. Nama-nama berikutnya yang disodorkan google sebagai kekayaan intelektual ”Kemiskinan” NTT adalah Siliwoloe Djoeroemana, E.Th. Salean, W. Nope, yang memaparkan data, setelah 35 tahun program integrasi pembangunan daerah pedesaan di NTT, ternyata 58% rumah tangga di NTT masih tetap miskin.
Tidak ketinggalan blog ”KABAR NTT” menghadirkan nama YBT Suryo Kusumo, yang berharap suatu saat sebutan NTT sebagai ‘Nanti Tuhan Tolong, ‘Nasib Tak Tentu’ bisa berubah menjadi ‘Nasib Tergantung Tekad’, dan akhirnya dapat berlabuh pada akronim ‘Nikmat Tiada Tara’.
Kemiskinan di NTT juga menghadirkan nama Emmanuel Bria, Staf Konsultan Social Development, Maunsell Aecom, Jakarta yang juga menyorot soal kemiskanan di NTT hasil laporan lembaga Ecosoc Right lewat opini Kupang ” Kemiskinan di NTT dan hermeneutika kecurigaan” (PK, 31/01/07). Tidak ketinggalan Nama mantan Gubernur NTT, Herman Musakabe (PK, 19/08/06) yang menyoroti tugas Dewan Riset Daerah untuk pengentasan kemiskinan.
Nama dari Unkris Arta Wacana Kupang yang disodorkan Google adalah Frits O Fanggidae. Frits menyoroti kekurangpekaan pemerintah terhadap kondisi perekonomian masyarakat, “masalah kemiskinan di NTT tidak akan berarkhir karena belum ada kebijakan pemerintah yang berpihak pada rakyat”, kata Frits (Gizi.net, 15/9/07)
Selain Ecosoc right dan Tim IPB, lembaga lain yang menyoroti kemiskinan di NTT adalah SMERU Institute. Salah satu hasil penelitian SMERU institute tentang “Keuangan Mikro untuk Masyarakat Miskin” (2004) ini adalah lembaga perbankan di NTT masih belum memiliki skema pelayanan keuangan untuk masyarakat miskin sehingga akses kelompok ini terhadap bantuan perbankan menjadi terbatas, terutama bagi mereka yang tinggal di pedesaan.
Google tidak hanya memberikan nama ANTARA-nya Ausaid. Nama lain yang muncul adalah “Swisscontact”. “Dari Swiss untuk Flores” adalah laporan yang ditulis oleh Andreas Harsono, wartawan Pantau tentang bagaimana Swisscontact hendak memerangi kemiskinan penduduk di Pulau Flores dengan jambu mete. Dalam laporan ini muncul nama-nama besar lain seperti Daniel Dhakidae, kepala riset Kelompok Kompas Gramedia, dan Frans Padak Demon dari Voice of America.
Perburuan saya tentang kekayaan “Kemiskinan di NTT” juga menghadirkan nama lain Florencio Mario Vieira, Prof. Dr. Vincent Gaspersz, Esthon Foenay, M.Si, Charles Mesang, dan tidak ketinggalan Sarah Lery Mboeik. Nama-nama di atas tidak sendirian. Masih banyak nama-nama lain yang akan muncul. Perburuan saya terhenti di halaman 6 dari sekian ribu halaman yang saya yakin tidak akan sanggup saya jelajahi semua.
Perburuan kekayaan “Kemiskinan di NTT” membuktikan bahwa NTT mempunyai cukup sumber daya untuk mengentaskan kemiskinan dari tanah NTT. Banyak ide sudah diberikan oleh para intelektual kita. Banyak hasil riset telah dihasilkan oleh lembaga-lembaga pemerhati kemiskinan di NTT. Juga banyak dana telah digelontorkan oleh negara-negara lain untuk membantu kita. Karena itu tidak ada alasan lagi untuk tetap miskin. Mari kita buktikan bahwa kita juga bisa keluar dari jurang kemiskinan ini. Karena sebenarnya kita memang kaya .... setidaknya menurut Google. Salam ....
This article was published in the "Kabar NTT" Blog: http://kabarntt.blogspot.com/2007/10/google-kekayaan-kemiskinan-di-ntt.html
Sunday, November 04, 2007
Subscribe to:
Posts (Atom)