Tuesday, June 03, 2008

Virus itu namanya virus perilaku

STASIUN Televisi Metro TV (Kamis, 10/2) menayangkan berita tentang seorang gadis mungil, berumur 5 tahun yang masih duduk di bangku TK tewas setelah hanya menderita demam selama 5 hari. Gadis manis yang masih lucu-lucunya ini awalnya didiagnosa menderita infeksi tenggorokan. Namun ternyata, bukan "infeksi" dimaksud yang merengut nyawa si bocah tapi sejenis virus lain yang ditandai dengan perdarahan dari hidung, mulut dan kadang lewat tinja. Virus yang bentuk fisiknya susah dilihat wujudnya, namun akhir-akhir muncul kembali dalam personifikasi yang menakutkan sebagai makluk pencabut nyawa yang dikenal dengan sebutan "demam berdarah".
Di Indonesia, termasuk di Kota Kupang, Demam Berdarah Dengue (DBD) masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang cenderung semakin meluas penyebar-annya sejalan dengan semakin meningkatnya mobilitas penduduk dan memburuknya kondisi lingkungan. Berdasarkan data kasus DBD di Kota Kupang, dalam delapan tahun terakhir (1998-2005) selalu ditemukan kasus DBD yang bersifat Kejadian Luar Biasa (KLB), ditandai dengan tingginya kasus dan adanya kematian.
Pada 2004 lalu, kasus DBD di Indonesia menurut Departemen Kesehatan RI untuk periode Desember 2003-April 2004 mencapai angka 58.861 kasus (atau incidence rate = 27.3 per 100.000) dengan kematian 669 orang (CFR = 1,1 %). Kota Kupang menyumbang sekitar 1.124 kasus dengan 32 kematian (CFR=2,85 %).
Di tahun 2005 ini, penyakit DBD kembali menunjukkan keganasannya. Data Departemen Kesehatan (Pos Kupang, 8/2) menunjukkan angka kasus DBD sudah menginjak angka 4.718 di sekitar enam propinsi. Dan walaupun pemerintah sudah membebaskan biaya perawatan bagi pasien DBD yang berobat di kelas III ke bawah, kebijakan ini tidak dapat menyelamatkan nyawa 102 orang dari renggutan virus DBD. Kota Kupang menyumbang sekitar 265 kasus dengan jumlah 5 orang telah meninggal dunia.
Setiap kejadian KLB DBD di Indonesia tidak hanya membuat kita pusing dan panik tetapi juga menjadi santapan hangat media luar negeri. Dari pengamatan di tahun 2004 lalu, tidak kurang dari The International Herald Tribune juga meliput kejadian ini. Dengan judul "175 Die From Mosquito Borne Virus" the Helard Tribune mewar-takan keganasan virus ini ke seluruh belahan bumi. Demikian juga koran Beijing Time yang menggambarkan keganasan virus DBD ini sebagai "The Death Toll" atau jalan tol menuju kematian.
Sebenarnya penyakit demam berdarah dengue (DBD) ini bukan merupakan penyakit baru. Para ilmuwan mencatat bahwa penyakit yang juga dikenal dengan nama Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) ini disebabkan oleh sejenis virus yang disebut DEN virus yang memiliki 4 serotype (DEN -1, DEN -2, DEN -3 dan DEN -4). Virus ini tergolong dalam genus flavivirus. Virus DBD dominan di daerah tropis dan dalam penyebarannya merupakan suatu siklus yang melibatkan manusia dan sejenis nyamuk yang sangat akrab di telinga kita akhir-akhir ini yaitu nyamuk aedes aegypti. Nyamuk Aedes aegypti bersifat domestik atau hidup dalam rumah dan lebih menyukai darah manusia untuk makanannya daripada darah hewan. Nyamuk yang menggigit manusia hanyalah nyamuk betina. Si-betina ini mengisap darah manusia untuk mematangkan telurnya. Pada saat mengisap darah manusia itulah terjadi perpindahan virus dari tubuh nyamuk ke dalam tubuh manusia jika nyamuk ini kebetulan telah terinfeksi virus dalam tubuhnya.
Secara historis, penyakit DBD dilaporkan muncul pertama kali sekitar 1779-1780 di daerah Asia, Africa dan Amerika Utara. Kemunculannya yang berdekatan waktu dan secara geografis melibatkan tiga benua mengidentifikasi bahwa nyamuk aedes aegypti dan virusnya telah memiliki daerah penyebaran yang luas dalam kurun waktu lebih dari 200 tahun sebelumnya. Pada awal kemunculannya, virus DBD merupakan virus yang jinak yang walaupun menyebab-kan demam namun tidak menyebabkan kematian. Penyebaran pertama kali penyakit ini melalui pelaut-pelaut yang berlayar antarbenua pada saat itu.
Global pandemic (penyebaran yang meliputi daerah yang luas) pertama kali terjadi pada akhir Perang Dunia II di daerah Asia Tenggara dan makin meningkat dalam 15 tahun terahkir dimana distribusi daerahnya makin meluas dengan melibatkan infeksi virus yang multiple serotypes. DBD juga telah menyebar di daerah Pasifik dan sebagian besar Amerika. Sejak epidemik pertama kawasan Asia Tenggara pada 1950, sekitar 1975 DBD telah berkembang menjadi salah satu penyakit yang memiliki angka kesakitan dan kematian tinggi terutama di kalangan anak-anak.
Telah disebutkan di atas bahwa penyebar-an penyakit DBD melibatkan mobiltas pen-duduk dan nyamuk. Kondisi ini menyebab-kan penyakit yang sampai saat ini belum ditemukan obat dan vaksin untuk men-cegahnya menjadi salah satu problem kese-hatan masyarakat yang kompleks dan sulit untuk dimengerti. Namun secara teoritis dapat dipahami bahwa peningkatan penyakit DBD yang terus-menerus berhubungan dengan banyak faktor. Salah satu faktor yang sering disebut sebagai biang keladinya ada-lah kegagalan upaya pemberantasan nyamuk pada banyak negara termasuk di Indonesia. Faktor lain yang dituding sebagai pendorong tingginya kasus DBD adalah perubahan de-mografi yang ditandai dengan tingginya angka pertumbuhan penduduk dan tingkat urbanisasi ke daerah perkotaan. Memang dari berbagai pengalaman terlihat bahwa umumnya kasus DBD terjadi di daerah per-kotaan yang padat penduduknya dan dalam lingkungan pemukiman dan pada kompleks perumahan yang relatif lebih baik kondisi-nya karena sifat nyamuk aedes yang domistic biting (mencari makan dalam rumah).
Terlepas dari berbagai analisa umum di atas, peningkatan kasus DBD di Kota Kupang telah menimbulkan berbagai perdebatan dan polemik yang tidak berakhir seiring dengan makin tingginya kasus DBD dari hari ke hari. Perdebatan ini bermuara dari ketidakpuasan masyarakat atas upaya penanggulangan kasus DBD oleh pemerintah yang dinilai lamban. Sementara di lain pihak, pemerintah menuding masyarakatlah yang membuat dirinya menderita penyakit DBD. Masyarakat dinilai tidak mau atau lebih sopannya kurang aktif berpatisipasi untuk membersihkan rumah dan lingkungannya sehingga nyamuk dengan leluasa berkembang biak dan menggigit (menularkan penyakit DBD).
Dalam suatu pembicaraan baru-baru ini, dr. Paulus Wigyohadi, Kepala Dinas Kesehatan Kota Kupang menyatakan bahwa penyakit DBD sebenarnya merupakan suatu jenis penyakit yang disebabkan oleh suatu virus yang dikenal dengan "virus perilaku". Secara ilmu kesehatan, opini dr. Paulus bukan mau membantah bahwa ternyata bukan virus DEN dengan keempat serotypes virusnya di atas sebagai penyebab penyakit DBD, namun beliau mau menegaskan kembali klaim yang menyatakan bahwa perilaku masyarakatlah sebagai penyebab masyarakat menderita penyakit ini.
Pendapat yang sama kembali terungkap pada saat suatu kunjungan lapangan ke Kelurahan Sikumana, di mana Lurah Sikumana juga mengeluhkan rendahnya respon sebagian masyarakat terhadap imbauan pemerintah untuk melakukan gerakan 3 M (mengubur, menimbun dan menguras) sebagai upaya untuk memberantas nyamuk di lingkungannya. "Masakan ketika petugas kelurahan turun untuk membersihkan halaman rumah, masyarakat hanya menonton kami" demikian pengakuannya waktu itu.
Secara persuasif, upaya menyadarkan masyarakat untuk memberantas nyamuk ini juga dilakukan dr. Paulus dengan mengunjungi puskesmas-puskesmas di Kota Kupang dan berdialog langsung dengan masyarakat. dr. Paulus secara "halus" menyampaikan imbauannya kepada para pasien dengan menyatakan, "Bapak-bapak dan ibu-ibu, jika saudara sakit DBD, sadarlah bahwa nyamuk yang menggigit saudara berasal dari rumah saudara dan bukan nyamuk Kepala Dinas Kesehatan Kota Kupang. Saudaralah yang beternak nyamuk di rumah dan kemudian menjadikan saudara sebagai makanan nyamuk". Upaya mengajak masyarakat untuk memberantas nyamuk penyebar DBD ini juga terus diupaya bahkan dengan suatu "ancaman" atau lebih tepat nada putus asa, "Saya akan menutup puskesmas-puskesmas satu bulan, sehingga petugas puskesmas hanya keluar masuk rumah penduduk untuk memberantas nyamuk". Semua dilakukan dengan tujuan agar masyarakat segera bergerak dan memberantas nyamuk di lingkungan mereka.
Hipotesa virus perilaku ini bukan monopoli seorang dr. Paulus. Dalam suatu kegiatan lapangan pembubuhan bubuk abate ke rumah-rumah penduduk, seorang petugas kesehatan senior berkomentar, "Orang sekarang tidak punya rasa malu. Pada jaman dulu, jangankan memasuki kamar mandi dan wc, memasuki ruangan yang bukan ruang tamu oleh orang lain adalah sesuatu hal yang tabu. Namun sekarang, orang tanpa rasa malu mempertontonkan kejorokan kamar mandinya kepada orang lain bahkan kalau bisa meminta orang lain untuk membersihkannya".
Dua contoh di atas mungkin dapat mewakili kebenaran hipotesis ‘virus perilaku’ ini. Lantas bagaimana dengan reaksi masyarakat yang menilai pemerintah lamban? Sekelompok masyarakat di Keluruhan Sikumana yang sempat diajak petugas berdialog mengaku bahwa walaupun kasus sudah banyak, belum ada tindakan nyata pemerintah untuk memberantas nyamuk. Abate yang dibagikan petugas sangat sedikit sehingga tidak mencukupi untuk seluruh rumah tangga. Memang dari hasil penelitian yang pernah dilakukan Tim gabungan dinas kesehatan propinsi dan Dinas Kesehatan Kota Kupang di tahun 2003, ternyata tingkat pemakaian abate dalam memberantas nyamuk hanya 2,53 %, namun kepanikan masyarakat akibat DBD telah menyebabkan kebutuhan akan abate meningkat. Dan walaupun disadari bahwa upaya membersihkan bak mandi atau tempat-tempat penampungan air sebagai upaya terbaik dan murah, masyarakat berdalih bahwa kelangkaan air membuat mereka tidak rela untuk menguras bak airnya.
"Apakah bapak-bapak menjamin bahwa 30 menit setelah tempat-tempat air minum dan bak mandi kami kuras dan dibersihkan, PDAM langsung mengalirkan air bersih sehingga kami tidak mati kelaparan? Apakah pemerintah menjamin bahwa setelah sampah yang kami bersihkan langsung diangkut oleh petugas kebersihan kota? Jangan kami disalahkan terus, Pak. Tiap bulan kami membayar air, kran kami hanya kebagian angin, tiap bulan kami membayar retribusi kebersihan, kami hanya kebagian lalat dan nyamuk yang bersarang di tumpukan sampah yang kami timbun".
Contoh dan keluhan masyarakat ini semakin memperkuat hipotesis pak dokter yang menuding virus peilakulah yang menyebabkan tingginya kasus DBD di Kota Kupang. Virus perilaku ini bukan monopoli penyakit masyarakat, virus ini juga menjangkiti pihak pemerintah. Virus ini menjangkiti kita semua.
Kasus demam berdarah ini hanya salah kasus yang seolah-seolah kesalahan terbesar berada di pihak masyarakat — kalau itu benar, atau tanggung jawabnya adalah pada pihak dinas kesehatan saja - bila memang harus begitu. Namun patut disadari bahwa penyakit DBD yang terjadi dewasa ini hanyalah gambaran bahwa suatu fenomena sosial yang kompleks dimana masyarakat dan dinas kesehatan hanya menanggung akibatnya. Pihak-pihak ini bukanlah penyebab. Mereka juga tidak menulari, mereka hanya pelengkap penderita.
Penyelesaian yang paling kompromistis adalah semua pihak saling bahu-membahu mengatasi masalah ini. Masyarakat berpartisipasi membersihkan lingkungannya. Dinas kesehatan mengupayakan penyembuhan dan tindakan pencegahan lainnya. PDAM mengalirkan air sehingga masyarakat tidak menimbun air yang dapat menjadi sarang nyamuk dan dinas kebersihan turut serta membantu masyarakat mengangkut sampah-sampah mereka dan bukan hanya sampah pada gedung-gedung pemerintah atau rumah-rumah penduduk di pinggir jalan, tapi sampah semua orang yang membayar retribusi sampah. Semoga kasus DBD segera teratasi di Kota Kasih tercinta.
* Penulis adalah staf Dinas Kesehatan Propinsi NTT,
Jln. Palapa 22 Oebobo, Kupang-NTT

Opini Pos Kupang, 14 Feb 2005

Sunday, June 01, 2008

Malaria, pembunuh terbesar sepanjang abad

MALARIA kembali memakan korban. Dalam dua minggu terakhir Pulau Sabu dan Pulau Semau menjadi saksi kembali mengganasnya penyakit yang telah berumur ribuan tahun ini. Tercatat, tidak kurang dari 1.730 orang Sabu (Pos Kupang 06/05) dan 556 orang Semau (Pos Kupang 05/05) positif malaria. Dari jumlah ini sedikitnya delapan bocah di Desa Uitiuana, Kecamatan Semau, akhirnya menyerahkan nyawanya direnggut keganasan penyakit ini.


Kejadian luar biasa malaria di Kabupaten Kupang akhir-akhir ini juga merupakan suatu pukulan yang sangat berat bagi sektor kesehatan dan masyarakat NTT tentunya — di tengah tingginya beban ekonomi sehari-hari dan pro kontra naiknya tarif berobat di Rumah Sakit Umum Prof. Yohanes-Kupang. Kejadian kali ini juga merupakan suatu tamparan bagi Kabupaten Kupang, karena di kabupaten inilah enam tahun yang lalu, tepatnya pada 8 April 2000, bertempat di Desa Babau, Dr. Achmad Sujudi, Menteri Kesehatan RI saat itu — didampingi Kepala Perwakilan WHO untuk Indonesia Dr. Georg Petersen - mencanangkan dimulainya Gerakan Berantas Kembali Malaria atau “GEBRAK MALARIA” secara nasional. Suatu gerakan nasional yang diharapkan dapat menekan penyakit malaria dengan melibatkan berbagai komponen atau elemen masyarakat. Namun ternyata gerakan ini masih belum berhasil mengontrol kasus malaria. Suatu momen sejarah yang sebenarnya harus dikenang secara manis, ternyata harus diperingati dengan kenyataan pahit. Malaria kembali menjadi masalah di kawasan ini.

Penyakit malaria tidak hanya menjadi masalah Kabupaten Kupang. Penyakit ini merupakan salah satu masalah kesehatan masyakarat utama di seluruh dunia. Dalam buku The World Malaria Report 2005, Badan Kesehatan Dunia (WHO), menggambarkan walaupun berbagai upaya telah dilakukan, hingga tahun 2005 malaria masih menjadi masalah kesehatan utama di 107 negara di dunia. Penyakit ini menyerang sedikitnya 350-500 juta orang setiap tahunnya dan bertanggung jawab terhadap kematian sekitar 1 juta orang setiap tahunnya. Diperkirakan masih sekitar 3,2 miliar orang hidup di daerah endemis malaria. Malaria juga bertanggung jawab secara ekonomis terhadap kehilangan 12 % pendapatan nasional, negara-negara yang memiliki malaria.

Di Indonesia sendiri, diperkirakan 50 persen penduduk Indonesia masih tinggal di daerah endemis malaria. Menurut perkiraan WHO, tidak kurang dari 30 juta kasus malaria terjadi setiap tahunnya di Indonesia, dengan 30.000 kematian. Survai kesehatan nasional tahun 2001 mendapati angka kematian akibat malaria sekitar 8-11 per 100.000 orang per tahun. United Nation Development Program (UNDP,2004) juga mengklaim bahwa akibat malaria, Indonesia sedikitnya mengalami kerugian ekonomi sebesar $ 56,6 juta pertahun.

Secara nasional, Propinsi NTT merupakan propinsi dengan angka kesakitan malaria tertinggi. Data Depkes RI tahun 2005 menunjukkan bahwa NTT memiliki angka kesakitan malaria 150 per 1.000 orang per tahun, diikuti oleh Papua, 63,91 kasus per 1000 penduduk per tahun. Di tahun 2004, dilaporkan tidak kurang dari 711.480 kasus malaria klinik terjadi di NTT, dimana 20% dari 75.000 slide darah yang diperiksa positif malaria. Bahkan data Depkes (2000) menunjukkan bahwa tidak kurang dari 73% kasus yang diobati di puskesmas dan rumah sakit di NTT adalah malaria. Dinas Kesehatan NTT juga mencatat bahwa khusus untuk Kabupaten Kupang, rata-rata kasus malaria klinis dari tahun 2002-2004 mencapai 181 kasus per 1.000 orang pertahun, bahkan di tahun 2004 mencapai 205 kasus per 1.000 orang pertahun. Angka ini menunjukkan bahwa untuk daratan Timor, Kabupaten Kupang menempati rangking tertinggi kejadian malaria klinis setiap tahunnya.

Sebenarnya, apa dan bagaimana penyakit malaria? Kenapa setelah ribuan tahun penyakit ini masih menjadi momok yang menakutkan bagi sebagian besar umat manusia? Andrew Spieldman dan Michael D’Antonio, dalam novelnya yang berjudul “Mosquito - The Story of Man’s Deadliest Foe” menggambarkan bahwa “tidak ada satu pun binatang di muka bumi ini yang menyentuh secara langsung dan sebegitu dalamnya mempengaruhi kehidupan dan takdir sebagian besar amat manusia”. Kedua novelist ini menggambarkan bahwa ternyata nyamuk — seekor makluk kecil yang mungkin dengan sekali tepukan bisa dimatikan - sepanjang sejarah kehidupan, telah menjadi pengganggu dan bahkan pembunuh nomor satu umat manusia di seluruh dunia. Sejak hadirnya, nyamuk telah mengalahkan begitu banyak pemimpin perang besar di zaman dahulu, termasuk Napoleon dan pasukannya. Bahkan disebutkan bahwa dalam Perang Dunia I, prajurit Inggris yang mati karena digigit “nyamuk” malaria lebih banyak dari yang mati karena tertembak peluruh musuh. Tidak hanya sampai di situ, Sandosham (1965), salah satu malarioligist ternama juga menggambarkan bahwa nyamuk dan malaria juga telah mengalahkan banyak raja besar Romawi pada zaman Alexander the Great. Tidak hanya prajurit dan raja, nyamuk dan malaria juga ikut membunuh para Paus, pemimpin agama dan negara lainnnya serta tentunya jutaan umat manusia di seluruh muka bumi.

Harrison juga dalam bukunya “Mosquito, Malaria and Man. - A History of Hostilities Since” menggambarkan malaria sebagai “the ancient deadly disease”. Memang, sejarah perkembangan malaria hampir sama tuanya dengan sejarah kehadiran manusia di muka bumi. Para ahli memperkirakan bahwa malaria kemungkinan berawal dari Afrika sekitar 12.000 - 17.000 tahun yang lalu. Dari benua ini, malaria kemudian menyebar ke suluruh dunia, terutama di daerah tropis,sejalan dengan sejarah dimulai penjelajahan umat manusia menemukan dan menaklukkan daerah-daerah baru, perdagangan serta sejarah penjualan budak-budak Afrika pada zaman dulu ke Amerika dan daerah-daerah lainnya.

Malaria juga sudah dikenal oleh para dokter pada zaman China kuno sekitar tahun 2700 sebelum masehi. Adalah Hippocrates, sang bapak kedokteran, yang pertama kali menggambarkan gejala-gejala klinis malaria pada sekitar abab IV Masehi. Kata malaria sendiri berasal dari bahasa Itali, “mal’aria”. Pada zaman dulu, orang beranggapan bahwa malaria disebabkan oleh udara yang kotor. Sementara di Perancis dan Spanyol, malaria dikenal dengan nama “paladisme atau paludismo“, yang berarti daerah rawa atau payau karena penyakit ini banyak ditemukan di daerah pinggiran pantai. Saking terkenalnya penyakit malaria, William Shakespeare, salah satu penulis Inggris yang paling terkenal sepanjang abad 16-17, juga telah menggambarkan penyakit malaria dalam salah satu karyanya sebagai “The Caliban Curse“. Caliban adalah salah satu budak Afrika yang dikutuk dalam karya Shakespeare, The Tempest (1611).

Pertanyaan sekitar penyebab penyakit malaria akhirnya dijawab oleh Ronald Ross, seorang dokter militer Ingris yang bertugas di India pada tahun 1897. Ross berhasil membuktikan bahwa ternyata malaria tidak disebabkan oleh udara kotor tetapi akibat gigitan nyamuk anopheles. Secara teoritis, cukup hanya dengan satu kali gigitan nyamuk anophles seseorang sudah bisa terjangkit malaria, jika nyamuk ini mengadung parasite malaria. Berkat penemuannya, Ross akhirnya memenangkan hadiah Nobel.

Penyakit malaria sebenarnya merupakan sejenis penyakit yang disebabkan oleh parasite yang dikenal dengan nama plasmodium. Parasite ini mempunyai empat jenis yaitu plasmodium falciparum, penyebab malaria tropikana dan merupakan jenis malaria yang paling berbahaya dengan tingkat kematian tinggi. Jenis, plasmodium yang kedua adalah plasmodium vivax, penyebab malaria jenis tertiana. Selanjutnya, plasmodium malarie, dan plasmodium ovale, masing-masing penyebab malaria jenis quartana dan ovale. Kedua jenis malaria pertama adalah merupakan jenis malaria yang paling banyak ditemukan di Indonesia.


Kenapa sulit dikontrol?


Walaupun ditularkan oleh nyamuk, penyakit malaria sebenarnya merupakan suatu penyakit ekologis. Penyakit ini sangat dipengaruhi oleh kondisi-kondisi lingkungan yang memungkinkan nyamuk untuk berkembang biak dan berpotensi melakukan kontak dengan manusia dan menularkan parasit malaria. Contoh faktor-faktor lingkungan itu antara lain hujan, suhu, kelembaban, arah dan kecepatan angin, ketinggian. Air merupakan faktor esensial bagi perkembang-biakan nyamuk. Karena itu dengan adanya hujan bisa menciptakan banyak tempat perkembangbiakan nyamuk akibat genangan air yang tidakdialirkan di sekitar rumah atau tempat tinggal. Nyamuk dan parasit malaria juga sangat cepat berkembang biak pada suhu sekitar 20-27 derajat C, dengan kelembaban 60-80 %. Karena itu iklim di NTT memiliki kondisi suhu dan kelembaban yang ideal untuk perkembangbiakan nyamuk dan parasit malaria.

Secara teoritis, nyamuk bisa terbang sampai 2-3 km, namun pengaruh angin, jarak terbang nyamuk bisa mencapai 40 km. Bahkan dengan perkembangan sarana transportasi, nyamuk bisa mencapai daerah yang jauh dengan menumpang alat transportasi. Para ahli juga memperkirakan bahwa perubahan iklim global telah turut mempengaruhi penyebaran nyamuk malaria. Nyamuk anopheles yang biasanya hanya ditemukan di daerah dataran rendah sekarang bahkan bisa ditemukan di daerah pengunungan, yang tingginya di atas 2000 m dari permukaan laut.

Salah satu faktor lingkungan yang juga mempengaruhi peningkatan kasus malaria adalah penggundulan hutan, terutama hutan-hutan bakau di pinggir pantai. Akibat rusaknya lingkungan ini, nyamuk yang umumnya hanya tinggal di hutan, dapat berpindah ke pemukiman manusia. Di daerah pantai, kerusakan hutan bakau dapat menghilangkan musuh-musuh alami nyamuk sehingga kepadatan nyamuk menjadi tidak terkontrol.

Malaria juga sulit diberantas karena keberadaan nyamuk itu sendiri yang mencapai ratusan spesies. Tidak kurang dari 400 jenis nyamuk anopheles hidup di muka bumi. Dari jumlah ini, “hanya” 80 jenis yang dapat menularkan malaria. Indonesia memiliki sekurang-kurangnya 20 jenis anopheles; dimana 9 spesies di antaranya ditemukan di daerah NTT.

Faktor lain yang turut memperparah kondisi malaria di dunia, termasuk di Indonesia adalah akibat resistensi nyamuk terhadap insektisida dan obat anti malaria. Zaman dulu DDT merupakan insektisida yang sangat ampuh membunuh nyamuk malaria dan berhasil menekan kasus malaria di berbagai belahan bumi. Namun belakangan diketahui bahwa ternyata nyamuk telah menjadi kebal dengan DDT dan juga pengaruh negatif DDT terhadap kematian serangga lain yang ternyata secara ekologis berguna bagi manusia. Karena itu DDT akhirnya dilarang dan tindakan penyemprotan rumah untuk tindakan anti malaria menggunakan insektisida lain yang lebih mahal. Akibatnya tindakan penyemprotan merupakan kebijakan paling akhir yang baru bisa diambil jika cara lainnya dianggap gagal dan hanya dalam keadaan kejadian luar biasa atau wabah. Tentunya harus didahului dengan survai entomologis untuk mengetahui secara pasti kebiasaan dan perilaku nyamuk malaria sebelum disemprot.

Pada zaman dulu, klorokuin merupakan obat anti malaria yang paling ampuh yang dipakai untuk mengobati malaria. Dewasa ini, klorokuin juga mulai kehilangan keampuhannya akibat resistensi parasit malaria terhadap klorokuin. Kondisi ini terjadi karena pola pengobatan dan dosis klorokuin yang sering tidak sesuaistandar. Sekarang untuk pengobatan malaria mulai memakai obat baru yang dikenal dengan sebutan artemisinin combination treatment atau ACT. Untuk itu, agar tidak terjadi resisten pengobatan lagi, sangat diharapkan para petugas kesehatan memberikan dosis pengobatan yang tepat dan juga pasien atau masyarakat harus taat minum obat sesuai dosis yang disarankan. Jangan karena merasa sudah sembuh, lantas pengobatan dihentikan. Ini akan sangat berbahaya karena dapat menimbulkan resistensi obat malaria di masa depan.

Cara terakhir untuk mengontrol malaria secara “mudah dan murah” adalah upaya proteksi diri dan keluarga terhadap gigitan nyamuk malaria. Marilah kita secara bersama-sama memperhatikan lingkungan sekitar kita.

Bebaskan rumah dan tempat tinggal kita dari genangan air atau tutuplah tempat-tempat penampungan air yang bisa menjadi sarang nyamuk. Biasakanlah tidur dengan menggunakan kelambu atau baju lengan panjang. Jangan biarkan terjadi kontak antara nyamuk dengan diri Anda. Selanjutnya, jika Anda sakit, cepatlah mencari pengobatan sehingga Anda tidak menjadi sumber penuluran bagi keluarga dan tetangga Anda. Yang paling penting, minumlah obat sesuai dosis yang diberikan sampai habis. Jangan biarkan malaria merongrong kehidupan kita terus. Mari berantas nyamuk untuk memberikan masa depan yang lebih baik bagi generasi kita.


* Penulis, PNS pada Dinas Kesehatan NTT

http://www.indomedia.com/poskup/2006/05/15/edisi15/opini.htm